Rabu, 29 April 2009

FILOSOFI SHOLAT


Muhammad menyebut ibadah ini tiang agama, yang wajib dikerjakan

setiap umat Islam. Tetapi, pernahkah kita merenungi secara lebih dalam makna

shalat sesungguhnya? Dimulai dari takbir hingga ditutup salam, shalat mengisyaratkan simbol dan lambang yang luar biasa. Takbir (Allahu Akbar) adalah pertanda kita sudah

memasuki istana Maha Raja. Pintu dunia yang penuh dengan hiruk pikuk, harta,

dan jabatan kita tinggalkan, untuk kemudian, kita tapaki dimensi baru:

keterpesonaan jiwa kepada-Nya. Takbir juga mengisyaratkan ketidakberdayaan seorang hamba di hadapan Tuhan.

Karena itu seorang hamba selalu menundukkan pandangannya seusai bertakbir.

Simbol ini melahirkan rasa tawaddhuk (rendah hati), tidak sombong dan

angkuh. Saat berdiri tegap, wajah kita tak boleh menoleh ke kiri maupun ke

kanan, melainkan menatap lurus ke tempat sujud (tanah). Memandang tanah adalah simbol bahwa hidup manusia akhirnya akan kembali ke tanah.

Itulah sebabnya pada doa iftitah kita berikrar 'Inilah wajah batinku,

pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk-Mu ya Allah.' Akhirnya, shalat ditutup dengan salam. Itu berarti bahwa hidup haruslah

berakhir dengan hati yang salam (damai), merdeka, dan tidak lagi terpenjara

oleh urusan dunia. Gerakan shalat mulai dari awal hingga akhir memiliki nilai filosofis.

Di sini hamba Tuhan harus bergerak, dinamis, kreatif, dan aktif untuk

mengembangkan diri menuju kemerdekaan berbuat, tetapi bukan tanpa aturan.

Dalam kreativitas itu seseorang yang mendirikan shalat sesungguhnya tengah

tenggelam dalam keasyikan pelukan Ilahi yang tak terperikan.

Demikianlah filosof besar asal Pakistan, Muhammad Iqbal, melukiskan

keasyikan itu lewat kata-kata, "Berapa lamakah kau 'kan tetap menggelepar

menggantung di sayap orang? Kembangkan sayapmu sendiri dan terbanglah lepas

seraya menghirup udara bebas di taman luas." Berdiri dalam shalat mengandung arti kita tidak selamanya muda, berjaya,

atau berdiri kuat, tetapi juga berubah jadi rukuk --sebuah simbol adanya

saat kita bisa rapuh, berumur setengah baya, dan kekuatan pun berkurang. Sementara itu, kewajiban harus tetap dijalankan sebagai bekal untuk menuju

sujud --simbol tanah, tempat asal kita diciptakan dan dikembalikan.

Maka, akhirilah hidup kita dengan salam (hati yang bersih).